Pertanyaan:
Ustadz, akhir-akhir ini banyak yang membuat konten-konten jenaka yang mengarah kepada pelecehan kepada agama. Seperti, “Bagaimana hukum puasa jika mandi kemudian gayungnya tertelan?”, “Bagaimana hukum mendahului imam jika sudah shalat tapi imamnya masih wudhu?”, “Duduk dapat membatalkan puasa jika duduknya di warung padang lalu makan nasi padang”, dan semisalnya. Apakah ini termasuk istihza’ bid din (celaan terhadap agama)? Bagaimana patokan untuk menentukan suatu perkataan termasuk istihza’ bid din?
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.
Pertama, Islam tidak melarang bercanda. Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun terkadang bercanda. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu mengatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا؟ قَالَ: إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا
“Wahai Rasulullah, sungguh engkau sering bercanda dengan kami! Rasulullah lalu berkata: sungguh aku tidak berkata kecuali kebenaran” (HR. At-Tirmidzi no.1990, ia berkata: “hasan shahih”).
Para sahabat Nabi juga bercanda. Disebutkan oleh Bakr bin Abdillah Al-Muzanni:
كانَ أصحابُهُ يتبادَحونَ بالبِطِّيخِ فإذا كانتِ الحقائقُ كانوا همُ الرِّجالَ
“Para sahabat Nabi pernah bercanda dengan saling melemparkan kulit semangka. Padahal pada kenyataannya mereka adalah para lelaki sejati” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 266, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 435).
Maka bercanda tidaklah terlarang. Namun ada adab-adab yang perlu diperhatikan dalam bercanda, di antaranya:
- Tidak terlalu banyak bercanda
- Tidak boleh berdusta
- Tidak boleh sampai mengambil barang orang lain
- Tidak boleh sampai mencela dan merusak kehormatan orang lain
- Tidak boleh sampai mengolok-olok Allah, Rasul-Nya atau ayat-ayat-Nya
Niat bercanda dan niat untuk menghibur orang lain, tidak boleh dengan menghalalkan segala cara. Dari Mu’awiyah bin Haidah Al-Qusyairi radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang lain tertawa. Celakalah ia, celakalah ia” (HR. Abu Daud no.4990, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).
Kedua, bercanda dengan tema agama tidak selalu bermakna mengolok-olok agama. Karena terkadang Nabi shallallahu’alaihi wasallam pun bercanda dengan tema agama namun tidak ada unsur perendahan dan olok-olok terhadap ajaran agama. Sebagaimana dalam sebuah hadits,
أتتْ عجوزٌ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فقالتْ يا رسولَ اللهِ ادعُ اللهَ أن يُدخلَني الجنَّةَ فقال يا أمَّ فلانٍ إنَّ الجنَّةَ لا تدخُلها عجوزٌ قال فولَّتْ تَبكي فقال أخبِروها أنها لا تدخلُها وهي عجوزٌ إنَّ اللهَ تعالى يقول ( إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً (35) فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا (36) عُرُبًا أَتْرَابًا)
“Seorang nenek tua datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Nenek tua itu berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Ia memasukkanku dalam surga”. Nabi shallallahu’alaihi wasallam menjawab: “Wahai Ummu Fulan, surga tidak dimasuki oleh nenek-nenek!”. Nenek itu pun pergi sambil menangis. Nabi shallallahu’alaihi wasallam pun berkata: “Kabarkan kepadanya bahwa surga tidaklah dimasuki seseorang dalam keadaan tua renta. Karena Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al-Waqi’ah: 35-37)” (HR. At-Tirmidzi no.241 dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyah. Dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no.2987).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bercanda dengan tema agama yaitu tentang surga. Namun tidak ada unsur perendahan atau pelecehan sama sekali. Namun yang tercela adalah jika candaan yang bertema agama kemudian mengandung unsur sukhriyyah (perendahan) atau istihdza’ (mengolok-olok) terhadap Allah atau Rasul-Nya atau ayat-ayat-Nya. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ * وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Orang-orang munafik itu takut jika diturunkan suatu surah yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah (kepada mereka), “Teruskanlah berolok-olok (terhadap Allah dan Rasul-Nya).” Sesungguhnya Allah akan mengungkapkan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 64-66).
Ayat ini menggunakan istilah تَسْتَهْزِئُونَ, maka yang tercela adalah jika candaan itu mengandung unsur istihdza’ (mengolok-olok). Ibnu Hazm mengatakan:
صَحَّ بِالنَّصِّ أَن كل من اسْتَهْزَأَ بِاللَّه تَعَالَى ، أَو بِملك من الْمَلَائِكَة ، أَو بِنَبِي من الْأَنْبِيَاء عَلَيْهِم السَّلَام ، أَو بِآيَة من الْقُرْآن ، أَو بفريضة من فَرَائض الدّين بعد بُلُوغ الْحجَّة إِلَيْهِ ، فَهُوَ كَافِر
“Telah valid berdasarkan nash Al Qur’an dan hadits bahwa orang yang istihdza (mengolok-olok) Allah ta’ala atau Malaikat Allah atau salah seorang Nabi atau ayat-ayat Al Qur’an, atau salah satu kewajiban dalam agama, padahal telah tegak hujjah atasnya, maka ia kafir” (Al-Fashl fil Milal, 3/142).
Dan makna sukhriyyah atau istihza’ dijelaskan dengan bagus oleh Al-Ghazali rahimahullah:
وَمَعْنَى السُّخْرِيَةِ : الِاسْتِهَانَةُ ، وَالتَّحْقِيرُ ، وَالتَّنْبِيهُ عَلَى الْعُيُوبِ وَالنَّقَائِضِ ، عَلَى وَجْهٍ يُضْحَكُ مِنْهُ ، وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ بِالْمُحَاكَاةِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ ، وَقَدْ يَكُونُ بِالْإِشَارَةِ وَالْإِيمَاءِ
“Sukhriyah adalah menghinakan atau merendahkan atau menampakkan aib dan kekurangan dari sesuatu, dengan konteks yang membuat orang tertawa, baik dengan cara menirukan ulang perkataan, atau dengan perbuatan, atau dengan isyarat dan bahasa tubuh” (Ihya’ Ulumid Din, 3/131).
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan:
الاستهزاء هو: السخرية؛ وهو حمل الأقوال والأفعال على الهزل واللعب لا على الجد والحقيقة
“Istihza‘ sama dengan sukhriyah, yaitu membawa suatu perkataan atau perbuatan kepada makna main-main bukan makna hakikatnya” (Fatawa Al-Kubra, 6/22).
Ketiga, untuk menimbang suatu candaan sebagai istihdza atau tidak adalah dengan melihat acuan syariat, kaidah bahasa dan ‘urf (anggapan masyarakat).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
وإذا لم يكن للسب حد معروف في اللغة ولا في الشرع : فالمرجع فيه إلى عرف الناس ؛ فما كان في العرف سبا للنبي فهو الذي يجب أن ننزل عليه كلام الصحابة والعلماء ، وما لا فلا
“Jika ucapan celaan (terhadap Nabi) itu tidak memiliki patokan yang baku dalam kaidah bahasa atau dalam syariat maka acuannya kepada kepada ‘urf (anggapan) manusia. Jika orang-orang menganggap perkataan tersebut sebagai celaan kepada Nabi, maka itulah yang perlu kita terapkan penghukuman para sahabat dan para ulama dalam masalah ini. Jika orang-orang tidak menganggap perkataan tersebut sebagai celaan, maka tidak dihukumi demikian” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 541)
Maka orang-orang yang mengucapkan perkataan yang mengolok-olok agama tidak dikatakan tergantung niatnya. Namun tergantung ucapan yang ia ucapkan tersebut dalam anggapan pendengar termasuk celaan terhadap agama atau bukan. Allah ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقُولُوا۟ رَٰعِنَا وَقُولُوا۟ ٱنظُرْنَا وَٱسْمَعُوا۟ ۗ وَلِلْكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih” (QS. Al-Baqarah: 104).
Dalam ayat ini Allah ta’ala melarang orang-orang beriman menggunakan kata “Raa’ina” walaupun tidak berniat mencela Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Namun ketika kata “Raa’ina” di telinga masyarakat ketika itu bisa bermakna “orang yang dungu di antara kami”, maka Allah ta’ala melarang orang-orang beriman menggunakannya terhadap Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Sehingga ini menunjukkan bahwa dalam hal ini, niat tidak dianggap.
Dan yang disebutkan pada contoh di atas, adalah candaan-candaan yang termasuk perendahan terhadap ibadah puasa dan ibadah shalat berdasarkan makna istihza’ yang disebutkan Ibnu Taimiyah di atas dan berdasarkan ‘urf. Karena orang yang mendengarnya akan cenderung menertawakan dan membuat ibadah puasa dan shalat nampak sebagai perkara yang rendah dan remeh-temeh. Wallahu a’lam.
Keempat, mengolok-olok agama tidak diperbolehkan walaupun tujuannya adalah untuk bercanda atau untuk hiburan. Allah ta’ala berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubah: 64-66).
Kelima, orang yang mengolok-olok agama dalam bahaya yang sangat besar yang bisa membuat hilang imannya dan membuat ia keluar dari Islam. Namun dalam masalah ini perlu perincian. Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh menjelaskan,
فلهذا نقول: الكفر يكون أكبر إذا كان الاستهزاء بأحد الثلاثة التي ذكرنا ونصت عليها الآية، أو كان راجعا إلى أحد الثلاثة.
أما إذا كان الاستهزاء بشيء خارج عن ذلك، فإنه يكون فيه تفصيل: فإن هزل بالدين، فينظر هل يريد دين الإسلام، أو يريد تدين فلان؟ ومثال ذلك أن يأتي واحد من المسلمين ويستهزئ- مثلا- بهيئة أحد الناس، وهيئته يكون فيها التزام بالسنة، فهل يكون هذا مستهزئا الاستهزاء الذي يخرجه من الملة؟ الجواب: لا؛ لأن هذا الاستهزاء راجع إلى تدين هذا المرء، وليس راجعا إلى الدين أصلا
“Oleh karena itu kami katakan: seseorang yang melakukan istihza’ akan terjerumus dalam kufur akbar jika ia melakukan istihza terhadap tiga perkara tersebut yang disebutkan dalam nash (yaitu terhadap Allah, Rasul-Nya dan ayat-ayat-Nya). Atau olok-olokannya berujung kepada mengolok-olok salah satu dari tiga tersebut.
Adapun mengolok-olok perkara yang di luar tiga hal tersebut, maka butuh perincian. Jika ia mengolok-olok salah satu ajaran agama, maka perlu dilihat apakah yang diolok-olok adalah ajaran agamanya atau praktek seseorang terhadap ajaran tersebut?
Contohnya jika ada seorang Muslim yang mengolok-olok penampilan Muslim lain yang komitmen dengan sunnah Nabi, maka apakah olok-olokan ini membuat pelakunya keluar dari Islam? Jawabannya: tidak. Karena yang diolok-olok adalah praktek agama seseorang bukan ajaran agamanya” (At-Tahmid Syarah Kitab Tauhid 481-482).
Andaikan mereka belum layak untuk dikatakan kafir, pun tetap mereka dalam bahaya dan dosa yang besar.
Maka kami nasehatkan kepada siapapun yang mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya, atau ajaran agama-Nya untuk segera bertaubat kepada Allah kemudian diiringi dengan memperbaiki diri dengan belajar agama secara mendalam dan memperbanyak amalan shalih. Karena amalan-amalan kebaikan menghapuskan keburukan-keburukan.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa sallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/41933-patokan-istihza-bid-din.html